NAMA : INDRI SETIAWAN
N.P.M 33210542
KELAS : 3DD01
MATA KULIAH : METODE RISET BISNIS
Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) di Indonesia
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat dan hidayah - Nya, .
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah dalam junjungan Nabi Muhammad SAW.
Sehingga kami segenap tim penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan
lancar tanpa ada halangan suatu apapun yang berarti. Dalam pembahasan makalah
kali ini penyusun mencoba membahas mengenai
Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia. Pada mata kuliah Ekonomi
Koperasi di mana dalam makalah ini , pembaca akan mengetahui berbagai hal
mengenai
1. Klasifikasi
UKM
2. Pengenalan
Dasar UKM
3. Undang-Undang
dan Peraturan Tentang UKM
4. Keragaman
Definisi UKM di Indonesia
5. Definisi dan
Kriteria UKM menurut Lembaga dan Negara Asing
6. Kinerja UKM
di Indonesia
7. Kemitraan
Usaha dan Masalahnya
8. Komparasi
Karakteristik Dasar UKM
Setelah mempelajari makalah ini, pembaca diharapkan dapat
mengenal lebih dalam berbagai hal tentang Usaha Kecil Menengah (UKM) di
Indonesia. Pembaca juga dapat mengambil manfaat berupa penambahan wawasan dan
dapat mengembangkan ke dalam diskusi.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Pengenalan Dasar
UKM
1.2 Pengembangan
Sektor UKM
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi UKM di
Indonesia
2.2 Definisi dan
Kriteria UKM menurut Lembaga dan Negara Asing
2.3 Klasifikasi UKM
2.4 Undang-Undang dan
Peraturan Tentang UKM
2.5 Kinerja UKM di
Indonesia
2.6 Kemitraan Usaha
dan Masalahnya
2.7 Permasalahan yang
Dihadapi UKM
2.8 Langkah
Penanggulangan Masalah
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
]
Bab 1
Pendahuluan
1.1
Pengenalan Dasar UKM
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang
strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam
pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang terjadi di
negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar
yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut.
Mengingat pengalaman yang telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya
tidak berlebihan apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM,
terlebih lagi unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil
produksinya dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha
lainnya.
Pengembangan UKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik
dari pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif
bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu diupayakan
lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah perlu meningkatkan
perannya dalam memberdayakan UKM disamping mengembangkan kemitraan usaha yang
saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, dan
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya.
1.2 Pengembangan Sektor UKM
Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang
tidak diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam
pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari tumbuhnya
usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha kecil menengah
(UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar dapat maju dan
bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di Indonesia yang merupakan
jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa maju dan berkembang. Satu hal
yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa langkah ini tidak
semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh Pemerintah dan hanya
menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang
dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain
Pemerintah dan UKM, peran dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait
dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman
atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan
dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar
negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut
memecahkan tiga hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses
pasar, modal, dan teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di
seminar atau konferensi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM, antara lain
kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses
pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan
usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.
Perlu disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang
kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila
tidak mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Konsep
pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk ‘aturan main’ bagi pelaku usaha
(termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan
secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi
nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Kebijakan ekonomi (terutama
pengembangan dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat
bagi terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM.
Saat ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
berencana untuk menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020. Tahun
2020 adalah masa yang menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun
tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang tertuang
dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang peredaran
produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas negara, akan
terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif sekaligus negatif bagi UKM. Menjadi
positif apabila produk dan jasa UKM mampu bersaing dengan produk dan jasa dari
negara-negara ASEAN lainnya, namun akan menjadi negatif apabila sebaliknya.
Untuk itu, kiranya penting bila pemerintah mendesain program yang jelas dan
tepat sasaran serta mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai program nasiona
BAB 2
PEMBAHASAN
.1 Definisi UKM di Indonesia
Beberapa lembaga atau instansi bahkan UU memberikan definisi
Usaha Kecil Menengah (UKM), diantaranya adalah Kementrian Negara Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS), Keputusan
Menteri Keuangan No 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan UU No. 20 Tahun
2008. Definisi UKM yang disampaikan berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya. Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
(Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha
Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan
memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha
Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang
memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp
10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM
berdasarkan kunatitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang
memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan
entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang. Berdasarkan
Keputuasan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha
kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan
kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp
600.000.000 atau aset/aktiva setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah
dan bangunan yang ditempati) terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan
koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani,
peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa)
2.2 Definisi dan Kriteria UKM menurut Lembaga dan Negara
Asing
Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara
asing didasarkan pada aspek-aspek sebagai berikut : (1) jumlah tenaga kerja,
(2) pendapatan dan (3) jumlah aset. Paparan berikut adalah kriteria-kriteria
UKM di negara-negara atau lembaga asing.
1. World Bank,
membagi UKM ke dalam 3 jenis, yaitu :
· Medium
Enterprise, dengan kriteria :
1. Jumlah
karyawan maksimal 300 orang
2. Pendapatan
setahun hingga sejumlah $ 15 juta
3. Jumlah aset
hingga sejumlah $ 15 juta
· Small
Enterprise, dengan kriteria :
Jumlah karyawan kurang dari 30 orang
Pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta
Jumlah aset tidak melebihi $ 3 juta
· Micro
Enterprise, dengan kriteria :
1. Jumlah
karyawan kurang dari 10 orang
2. Pendapatan
setahun tidak melebihi $ 100 ribu
3. Jumlah aset
tidak melebihi $ 100 ribu
2. Singapura
mendefinisikan UKM sebagai usaha yang memiliki minimal 30% pemegang saham lokal
serta aset produktif tetap (fixed productive asset) di bawah SG $ 15 juta.
3. Malaysia,
menetapkan definisi UKM sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan yang
bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75 orang atau yang modal pemegang
sahamnya kurang dari M $ 2,5 juta. Definisi ini dibagi menjadi dua, yaitu :
· Small
Industry (SI), dengan kriteria jumlah karyawan 5 – 50 orang atau jumlah modal
saham sampai sejumlah M $ 500 ribu
· Medium
Industry (MI), dengan kriteria jumlah karyawan 50 – 75 orang atau jumlah modal
saham sampai sejumlah M $ 500 ribu – M $ 2,5 juta.
4. Jepang,
membagi UKM sebagai berikut :
· Mining and
manufacturing, dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300 orang atau jumlah
modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta.
· Wholesale,
dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham
sampai US$ 840 ribu
· Retail,
dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal saham
sampai US$ 820 ribu
· Service,
dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham
sampai US$ 420 ribu
2.3 Klasifikasi UKM
Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan
menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
1. Livelihood
Activities, merupakan UKM yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari
nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Contohnya adalah
pedagang kaki lima
2. Micro
Enterprise, merupakan UKM yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki
sifat kewirausahaan
3. Small Dynamic
Enterprise, merupakan UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu
menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor
4. Fast Moving
Enterprise, merupakam UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan
melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB)
2.4 Undang-Undang dan Peraturan Tentang UKM
Berikut ini adalah list beberapa UU dan Peraturan tentang
UKM :
1. UU No. 9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil
2. PP No. 44
Tahun 1997 tentang Kemitraan
3. PP No. 32
Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
4. Inpres No. 10
Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
5. Keppres No.
127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil
dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar Dengan
Syarat Kemitraan
6. Keppres No. 56
Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
7. Permenneg BUMN
Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan
8. Permenneg BUMN
Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
9. Undang-undang
No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
2.5 Kinerja UKM di Indonesia
UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering
dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti
tingginya tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan
distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah
perkotaan dan perdesaan, serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan
dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya
penanggulangan masalah-masalah tersebut di atas.
Karakteristik UKM di Indonesia, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh AKATIGA, the Center for Micro and Small Enterprise Dynamic
(CEMSED), dan the Center for Economic and Social Studies (CESS) pada tahun
2000, adalah mempunyai daya tahan untuk hidup dan mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan kinerjanya selama krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh
fleksibilitas UKM dalam melakukan penyesuaian proses produksinya, mampu berkembang
dengan modal sendiri, mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga tinggi dan
tidak terlalu terlibat dalam hal birokrasi.
UKM di Indonesia dapat bertahan di masa krisis ekonomi
disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu :
1. Sebagian UKM
menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak
tahan lama,
2. Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha,
3. Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja, dan
4. Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.
2. Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha,
3. Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja, dan
4. Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.
UKM di Indonesia mempunyai peranan yang penting sebagai
penopang perekonomian. Penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini
pada dasarnya adalah sektor UKM.
Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu :
1. Nilai Tambah
Kinerja perekonomian Indonesia yang diciptakan oleh UKM
tahun 2006 bila dibandingkan tahun sebelumnya digambarkan dalam angka Produk
Domestik Bruto (PDB) UKM pertumbuhannya mencapai 5,4 persen. Nilai PDB UKM atas
dasar harga berlaku mencapai Rp 1.778,7 triliun meningkat sebesar Rp 287,7
triliun dari tahun 2005 yang nilainya sebesar 1.491,2 triliun. UKM memberikan
kontribusi 53,3 persen dari total PDB Indonesia. Bilai dirinci menurut skala
usaha, pada tahun 2006 kontribusi Usaha Kecil sebesar 37,7 persen, Usaha
Menengah sebesar 15,6 persen, dan Usaha Besar sebesar 46,7 persen.
2. Unit Usaha dan
Tenaga Kerja
Pada tahun 2006 jumlah populasi UKM mencapai 48,9 juta unit
usaha atau 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia.
3.EKSPOR UKMUKM yang
diekspor ke luar negeri mengalami peningkatan dari Rp 110,3 triliun pada tahun
2005 menjadi 122,2 triliun pada tahun 2006
]2.6 Kemitraan Usaha dan Masalahnya
Dalam menghadapi persaingan di abad ke-21, UKM dituntut
untuk melakukan restrukturisasi dan reorganisasi dengan tujuan untuk memenuhi
permintaan konsumen yang makin spesifik, berubah dengan cepat, produk
berkualitas tinggi, dan harga yang murah . Salah satu upaya yang dapat
dilakukan UKM adalah melalui hubungan kerjasama dengan Usaha Besar (UB).
Kesadaran akan kerjasama ini telah melahirkan konsep supply chain management
(SCM) pada tahun 1990-an. Supply chain pada dasarnya merupakan jaringan
perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan
menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Pentingnya persahabatan,
kesetiaan, dan rasa saling percaya antara industri yang satu dengan lainnya untuk
menciptakan ruang pasar tanpa pesaing, yang kemudian memunculkan konsep blue
ocean strategy.
Kerjasama antara perusahaan di Indonesia, dalam hal ini
antara UKM dan UB, dikenal dengan istilah kemitraan (Peraturan Pemerintah No.
44 Tahun 1997 tentang Kemitraan). Kemitraan tersebut harus disertai pembinaan
UB terhadap UKM yang memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk
meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling
membesarkan. Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan
mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya,
memulai membangun strategi, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi sampai
target tercapai. Pola kemitraan antara UKM dan UB di Indonesia yang telah
dibakukan, menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun
1997 tentang kemitraan, terdiri atas 5 (lima) pola, yaitu : (1).Inti Plasma,
(2).Subkontrak, (3).Dagang Umum, (4).Keagenan, dan (5).Waralaba.
Pola pertama, yaitu inti plasma merupakan hubungan kemitraan
antara UKM dan UB sebagai inti membina dan mengembangkan UKM yang menjadi
plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian
bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan
peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan
produktivitas usaha. Dalam hal ini, UB mempunyai tanggung jawab sosial
(corporate social responsibility) untuk membina dan mengembangkan UKM sebagai
mitra usaha untuk jangka panjang.
Pola kedua, yaitu subkontrak merupakan hubungan kemitraan
UKM dan UB, yang didalamnya UKM memproduksi komponen yang diperlukan oleh UB
sebagai bagian dari produksinya. Subkontrak sebagai suatu sistem yang
menggambarkan hubungan antara UB dan UKM, di mana UB sebagai perusahaan induk
(parent firma) meminta kepada UKM selaku subkontraktor untuk mengerjakan
seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung jawab penuh pada
perusahaan induk. Selain itu, dalam pola ini UB memberikan bantuan berupa
kesempatan perolehan bahan baku, bimbingan dan kemampuan teknis produksi,
penguasaan teknologi, dan pembiayaan.
Pola ketiga, yaitu dagang umum merupakan hubungan kemitraan
UKM dan UB, yang di dalamnya UB memasarkan hasil produksi UKM atau UKM memasok
kebutuhan yang diperlukan oleh UB sebagai mitranya. Dalam pola ini UB
memasarkan produk atau menerima pasokan dari UKM untuk memenuhi kebutuhan yang
diperlukan oleh UB.
Pola keempat, yaitu keagenan merupakan hubungan kemitraan
antara UKM dan UB, yang di dalamnya UKM diberi hak khusus untuk memasarkan
barang dan jasa UB sebagai mitranya. Pola keagenan merupakan hubungan
kemitraan, di mana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan
pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan
menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga.
Pola kelima, yaitu waralaba merupakan hubungan kemitraan,
yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek
dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan
disertai bantuan bimbingan manajemen. Dalam pola ini UB yang bertindak sebagai
pemberi waralaba menyediakan penjaminan yang diajukan oleh UKM sebagai penerima
waralaba kepada pihak ketiga.
Kemitraan dengan UB begitu penting buat pengembangan UKM.
Kunci keberhasilan UKM dalam persaingan baik di pasar domestik maupun pasar
global adalah membangun kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang besar.
Pengembangan UKM memang dianggap sulit dilakukan tanpa melibatkan partisipasi
usaha-usaha besar. Dengan kemitraan UKM dapat melakukan ekspor melalui
perusahaan besar yang sudah menjadi eksportir, baru setelah merasa kuat dapat
melakukan ekspor sendiri. Disamping itu, kemitraan merupakan salah satu solusi
untuk mengatasi kesenjangan antara UKM dan UB. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tumbuh kembangnya UKM di Indonesia tidak terlepas dari
fungsinya sebagai mitra dari UB yang terikat dalam suatu pola kemitraan usaha.
Manfaat yang dapat diperoleh bagi UKM dan UB yang melakukan
kemitraan diantaranya adalah Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan
usaha menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan
biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan
pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral, kemitraan
usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang
soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial, kecemburuan
sosial, dan gejolah sosial-politik. Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang
kemitraan yang dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat, memerlukan,
dan menguntungkan.
Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh adanya
kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya.
Pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar
etikan bisnis yang dipahami dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam
menjalankan kemitraan. Menurut Keraf (1995) etika adalah sebuah refleksi kritis
dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam
sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.
Dengan demikian, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesamaan
nilai, norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang menjalankan kemitraan
tersebut.
2.7 Permasalahan yang Dihadapi UKM
Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil
dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:
· Faktor
Internal
1. Kurangnya
Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk
mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada
umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan
yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya
sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan
lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang
diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan
terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak semua
UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.
2. Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan
merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha
kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya
sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha
tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan
keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk
mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk
yang dihasilkannya.
3. Lemahnya
Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga,
mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar
yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan
mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang
telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang
dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.
4. Mentalitas
Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap
pembahasan mengenai UKM, yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu
sendiri.[17] Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus
berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil
risiko.[18] Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali
memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di
daerah berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi
penyebab hilangnya kesempatan-kesempatan yang ada.
5. Kurangnya
Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM
tersebut terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang
disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya menjalankan
usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi generasi penerus
dalam mengembangkan usahanya.
· Faktor
Eksternal
1. Iklim Usaha
Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun
ke tahun selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal
kontribusinya terhadap penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan
tenaga kerja, ekspor dan perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan
investasi usaha kecil dan menengah melalui pembentukan modal tetap brutto
(investasi).[19] Keseluruhan indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan
acuan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator
keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun
sebelumnya.
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM,
meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum
sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan
yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan
pengusaha-pengusaha besar.
Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan
perijinan untuk menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar
mengenai banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah,
ditambah lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait
dengan kebijakan perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak kecil
seperti UKM tetapi lebih mengakomodir kepentingan dari para pengusaha besar.
2. Terbatasnya
Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki
juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana
yang diharapkan. Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat
untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau
tempat yang ada kurang strategis.
3. Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan
pungutan liar menjadi salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah
pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat
berulang kali secara periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.
4. Implikasi
Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan
daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat.
Perubahan sistem ini akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan
menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi
ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. Disamping itu,
semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang
menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah
tersebut.
5. Implikasi
Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun
2003 dan APEC Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah
untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM
dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta
dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan
standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000),
dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering
digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff
Barrier for Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing
baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6. Sifat Produk
dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau
karakteristik sebagai produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan
yang pendek. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia
mudah rusak dan tidak tahan lama.
7. Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang
dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional
maupun internasional.
8. Terbatasnya
Akses Informasi
Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam
hal akses terhadap informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM,
sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa
dari unit usaha UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini
adalah tidak mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus
pasar ekspor. Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang
berpotensial untuk bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur
ataupun akses terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar
domestik.
2.8 Langkah Penanggulangan Masalah
Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan
langkah-langkah yang selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu
diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang
kondusif antara lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha
serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2. Bantuan
Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan
syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan
permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa
finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura.
Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang
ada maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
3. Perlindungan
Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional
yang merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan
dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah
yang bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).
4. Pengembangan
Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM,
atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri,
untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk
memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan
demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis
lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang
strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam
pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang terjadi di
negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar
yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut.
Mengingat pengalaman yang telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya
tidak berlebihan apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM,
terlebih lagi unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil
produksinya dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha
lainnya.
Pengembangan UKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik
dari pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif
bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu diupayakan
lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah perlu meningkatkan
perannya dalam memberdayakan UKM disamping mengembangkan kemitraan usaha yang
saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, dan
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya.
Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang
tidak diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam
pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari tumbuhnya
usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha kecil menengah
(UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar dapat maju dan
bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di Indonesia yang merupakan
jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa maju dan berkembang.
Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah
bahwa langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh
Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM sendiri
sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan
Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM, peran dari sektor Perbankan juga sangat
penting terkait dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi
pemberian pinjaman atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait
dengan ketersediaan dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari
dalam maupun luar negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut
memecahkan tiga hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses
pasar, modal, dan teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di
seminar atau konferensi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM, antara lain
kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses
pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan
usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.
Perlu disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang
kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila
tidak mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Konsep
pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk ‘aturan main’ bagi pelaku usaha
(termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan
secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi
nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Kebijakan ekonomi (terutama
pengembangan dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat
bagi terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM.
Saat ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
berencana untuk menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020. Tahun
2020 adalah masa yang menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun
tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang tertuang
dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang peredaran
produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas negara, akan
terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif sekaligus negatif bagi UKM. Menjadi
positif apabila produk dan jasa UKM mampu bersaing dengan produk dan jasa dari
negara-negara ASEAN lainnya, namun akan menjadi negatif apabila sebaliknya. Untuk
itu, kiranya penting bila pemerintah mendesain program yang jelas dan tepat
sasaran serta mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai program nasional.